Regenerasi petani di Indonesia sangat penting dilakukan dalam mengantisipasi petani yang semakin menua, dengan hampir 40 persen petani di Tanah Air berusia di atas 55 tahun.
Jakarta (KPMI Bogor) – Sektor pertanian adalah salah satu pilar dalam menjaga ketahanan pangan Indonesia, sekaligus menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Data dari Kementerian Keuangan RI menyebutkan, pada triwulan ketiga tahun 2023, sektor pertanian mencatat pertumbuhan sebesar 1,46 persen (dari tahun ke tahun) dan memberikan kontribusi sebesar 13,57 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Peran petani dan kerja keras mereka turut berkontribusi dalam angka-angka tersebut. Meskipun demikian, saat ini Indonesia dihadapkan pada masalah meningkatnya jumlah petani yang semakin menua, sementara kebanyakan kaum muda di Tanah Air belum memandang petani sebagai pilihan karier yang menjanjikan masa depan mereka.
Masalah tentang penuaan pada petani tersebut diungkapkan oleh Duta Pertanian Jawa Barat, Rf. Habibi, saat menyampaikan materi bertema ‘Tantangan Dalam Regenerasi Petani dan Strategi Penguatan Pembangunan Petani Muda di Indonesia’, dalam perayaan 48 tahun Taiwan Technical Mission di Indonesia, yang digelar di Jakarta, Senin.
“Kita tidak hanya menghadapi masalah petani yang menua, di mana hampir 40 persen petani Indonesia berusia di atas 55 tahun, tapi juga berkurangnya jumlah petani karena menjadi petani masih dipandang bukan profesi yang membanggakan,” ujarnya, seraya menambahkan, “Padahal di tengah pandemik COVID yang melumpuhkan banyak sendi perekonomian nasional dan global, pertanian di Tanah Air tetap tumbuh.
Selain pandangan negatif tentang petani sebagai profesi, lanjutnya, terbatasnya akses kaum muda untuk mendapatkan lahan, modal, serta pendidikan dan pelatihan teknologi terkini juga menjadi tantangan dalam regenerasi petani di Indonesia.
“Tidak sedikit lahan pertanian yang hilang karena beralih fungsi. Di sisi lain, ada lahan pertanian yang pH tanahnya mulai asam karena penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan,” urai Habibi.
Dia melanjutkan, sektor pertanian juga harus berhadapan dengan ancaman perubahan iklim yang berdampak pada proses penanaman hingga pemanenan.
Menurut Habibi, sektor pertanian Taiwan yang berkembang pesat, baik dari segi kapasitas sumber daya manusia dan teknologi, dapat menjadi acuan bagi para petani Indonesia dalam upaya mereka mengembangkan bidang ini di Tanah Air.
“Memang, menjadi petani harus memiliki karakteristik yang kuat, sedangkan Gen Z dan milenial saat ini kebanyakan ‘moody-an’. Saat bertemu dengan masalah dan gagal, mereka cepat menyerah,” ujar Habibi.
Padahal, tegasnya, “Proses menjadi petani setidaknya membutuhkan waktu lima tahun. Tahun pertama adalah tahap beginning (permulaan), tahun kedua adalah processing (berproses), tahun ketiga adalah upgrading (peningkatan), dan tahun keempat dan kelima adalah upscaling (pengembangan).”
Habibi mengapresiasi upaya pemerintah dalam mencapai swasembada beras dan menguatkan ketahanan pangan nasional dengan mencetak 3 juta hektare lahan sawah di luar Pulau Jawa, serta melibatkan petani muda Indonesia.
Data statistik menunjukkan, jumlah petani milenial berusia 19-39 tercatat 6.183.009, atau mencakup 21,93 persen dari angka total petani di seluruh Indonesia.
Dia berharap, kolaborasi antar-pemangku kepentingan dalam struktur hexahelix yang melibatkan pemerintah, masyarakat, industri dan bisnis, akademisi, pembuat hukum dan peraturan, serta media massa, dapat membantu menyukseskan upaya regenerasi petani di Indonesia.
“Kita membutuhkan media massa untuk melakukan kampanye propaganda, untuk mengubah persepsi kaum muda bahwa petani adalah profesi yang membanggakan sekarang dan di masa yang akan datang,” pungkas Habibi.
Laporan: KPMI Bogor