Aktivitas perdagangan telah dikenal oleh masyarakat di seluruh dunia sejak ribuan tahun, namun dalam praktiknya banyak pola jual-beli di mana pembeli merasa kurang/tidak puas karena barang yang diperjualbelikan karena adanya cacat/rusak. Di waktu lainnya, pembeli merasa barang yang dibelinya terlalu mahal, dan dia merasa tertipu.
“Dibilangnya barang bagus, ternyata tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh si penjual,” ungkap Ustadz Ahmad Suryana, dalam kajian ilmiah rutin Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI) Korwil Bogor, di Masjid Alumni IPB, Bogor, beberapa waktu lalu.
Ust. Ahmad memberi contoh lain yaitu transaksi di bidang jasa seminar dan pelatihan.
“Si pembeli jasa berhalangan untuk menyelenggarakan kegiatan tersebut dan karena itu dia meminta refund (meminta uang kembali) tanpa adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, dan si penjual jasa tidak setuju. Dengan kondisi tersebut si pembeli menganggap si penjual pun zalim dan tidak amanah,” katanya.
Hal-hal tersebut sering menimbulkan perselisihan, bahkan saling menuduh bahwa si penjual atau si pembeli tidak menunaikan akad.
“Untuk melihat hal-hal seperti di atas yaitu masalah refund, kita harus melihat konsekuensi jual-beli. Sebetulnya, kalau kita kembali kepada definisi jual-beli, kita akan mengetahui konsekuensi apakah hal tersebut masih boleh dilakukan pembatalan atau tidak,” kata ustadz.
Biasanya ada catatan dari toko atau perusahaan yang menyatakan bahwa barang atau jasa yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan. Dalam hal ini, maka si pembeli tidak bisa melakukan pembatalan, imbuhnya.
Di kajian sebelumnya Ustadz Ahmad, menjelaskan definisi jual beli, yaitu tukar menukar harta dengan harta, baik harta berbentuk uang dengan barang, uang dengan uang atau uang dengan jasa.
“Yang penting harta tersebut memiliki value (nilai) atau bisa ditaksir harganya dengan uang. Nah, ini namanya tukar menukar atau transaksi untuk tujuan kepemilikan,” terangnya.
Selanjutnya ustadz menjelaskan, kalau seseorang sudah bertransaksi membeli barang atau jasa dan membayar kepada penjual, akad tersebut sudah sah dan sempurna, apalagi kalau kedua belah pihak sudah meninggalkan majelis transaksi.
“Nah, maka secara hukum, kepemilikan artinya ketika uang itu sudah dibayarkan dan sudah berada ditangan si penjual, maka si penjual boleh menggunakan uang tersebut,” katanya.
Bagaimana kalau harta sudah pindah kepemilikan, tapi konsumen meminta refund, dan membatalkan transaksi.
Inilah yang perlu diatur, soal apa saja yang boleh di-refund dalam transaksi jual-beli, katanya seraya menambahkan, sifat di dalam akad jual-beli itu mengikat, yaitu barang yang sudah dibeli tidak bisa dikembalikan.
Instrumen pembatalan transaksi
Namun, bagaimana jika barang dagangan yang sudah dibeli tersebut ternyata rusak, atau palsu, dan si pembeli merasa ditipu, kata ustadz.
“Bagaimana Islam menyikapi hal ini. Di dalam fiqih muamalah ada yang namanya instrumen pembatalan transaksi. Secara garis besar, instrumen pembatalan itu ada dua,” ungkap Ustadz Ahmad.
Yang pertama adalah khiar, yang artinya meminta salah satu dari dua kemungkinan, yaitu seseorang bisa melanjutkan atau membatalkan transaksi. Jadi khiar itu pilihan. Apakah si penjual atau si pembeli melanjutkan transaksi atau membatalkannya, kata ustadz.
“Mengapa ada pilihan melanjutkan transaksi, karena nanti ada yang namanya khiar syarat, yaitu memilih tempo dalam waktu yang ditentukan atau mengembalikan (refund) barang yang sudah dibeli,” jelasnya.
Jadi khiar itu adalah hak memilih, apakah si penjual atau si pembeli melanjutkan atau membatalkan transaksi.
Misalnya si pembeli mengatakan, “Saya gak jadi beli dan tolong duitnya dikembalikan 100 persen. Saya gak mau ada potongan kalau ada potongan berarti anda zalim,” ustadz memberi contoh, seraya menambahkan, di dalam muamalah, perkara zalim atau tidak itu ditentukan berdasarkan azas keadilan dan dalil.
“Nah, di masyarakat banyak ditemukan persilisihan dalam muamalah karena semua pihak saling menuduh zalim hanya berdasarkan perasaan mereka,” ujar ustadz.
Padahal, lanjutnya, zalim atau tidak harus dinilai berdasarkan pertimbangan syariat, dengan ilmu fiqih untuk memutuskan siapa yang berbuat zalim dan siapa yang terzalimi, ujarnya.
“Jadi instrumen yang pertama adalah tentang khiar (khiar majelis) di mana baik konsumen maupun penjual bisa mengembalikan atau membatalkan transaksi,” tegasnya.
Khiar majelis ini memberi hak bagi kedua belah pihak, baik si penjual maupun pembeli, untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi setelah dilakukan akad selama mereka belum berpisah dari majelis transaksi.
Hadits yang mengisyaratkan tentang hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (ﷺ) bersabda, “Jika kedua belah pihak bertransaksi, maka setiap pihak, yaitu penjual dan pembeli memiliki hak pilih, memiliki hak khiar selama mereka belum perpisah dari transaksi majelis.”
Kemudian bagaimana menerapkan khiar majelis ini pada transaksi yang sifatnya online (dalam jaring)? Ustadz Ahmad mengakui sampai sekarang belum menemukan website (situs jejaring) atau aplikasi apapun yang mengakomodir khiar majelis.
“Pada transaksi online, nanti kelihatan IP number konsumen selama mereka masih di window (jendela di komputer) yang belum keluar dari jendela tersebut, dan IP number-nya belum pindah atau belum keluar, belum re-login. Mungkin dari tanda login dan logout-nya, dia masih bisa membatalkan transaksi meskipun dia sudah checkout,” jelas ustadz.
Syekh Abdul Azis Al Badawi menjelaskan khiar majelis ini yang sudah isyaratkan oleh Ustadz Ahmad, yaitu “diharamkan bagi si konsumen dan si penjual untuk berpisah atau menyegerakan berpisah guna menghindari refund.”
“Nah hal ini berdasarkan riwayat dari Amar bin Suaib, bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Penjual dan pembeli memiliki hak khiar, hak untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi selama mereka belum berpisah dari majelis transaksi.”
Ini artinya, tidak halal bagi seseorang berpisah atau buru-buru pulang dari majelis transaksi atau dari lawan transaksinya, karena dia takut akan dikembalikannya uang atau barang dalam perkara khiar majelis.
Selanjutnya adalah khiar syarat.
Khiar syarat adalah hak pilih apakah si penjual atau si pembeli ingin melanjutkan atau membatalkan transaksi dalam tempo yang ditentukan (grace period). Ini yang sering juga disebut garansi penuh, meskipun tidak ada aib atau cacat (pada barang atau jasa), maka boleh dilakukan refund.
“Saya menemukan khiar syarat di sebuah website peritel perabot rumah dan furnitur kantor. Dalam tempo sekian hari, sekian pekan atau sekian bulan boleh refund tanpa ada alasan apa pun. Ini bagus, pelayanan yang prima kepada konsumen dalam mengaplikasikan hal-hal yang baik di dalam jualan kita,” kata ustadz.
Menurutnya, karena fleksibilitas dalam pengembalian tanpa memperhitungkan aib, khiar syarat dapat dipraktikan di lembaga keuangan syariah.
“Jadi ketika mereka membeli barang dari supplier (pemasok) dan sudah melakukan transaksi di bank syariah, ini ada dua pola. Ada yang menerapkan khiar syarat dan ada juga yang menerapkan jual-beli tempo,” katanya.
“Dalam akad murabahah yang sering diterapkan di perbankan adalah ketika bank mengambil barang atau membelinya dari pemasok sebelum mengakadkannya kepada konsumen, bank tersebut melakukan khiar syarat,” ungkapnya.
Artinya, nanti kalau si nasabah mau akad dan kemudian membatalkannya, maka bank boleh me-refund barang tersebut kepada pemasok. Nah ini dibolehkan sesuai dengan standar syariah murabahah, jelas ustadz.
Lembaga keuangan semestinya tidak perlu khawatir mengakadkan terlebih dahulu kepada penjual untuk memastikan jual-beli yang hakiki, karena masih ada hak khiar. Bank boleh memilih untuk meminta hak khiar kepada si penjual, jelas ustadz.
Namun, dia melihat bank-bank syariah Indonesia masih sedikit yang menerapkan khiar syarat, dan sebagian yang lain menerapkakn skema jual-beli tempo.
“Jadi bank-bank belum membayar secara tunai kalau belum ada akad dengan nasabah. Contohnya KPR. Setelah ada akad baru dana tersebut ditransfer kepada penjual. Jadi khiar syarat ini sangat bagus untuk meningkatkan value (nilai) jual-beli,” tambahnya.
Dalil khiar syarat ini adalah hadits Nabi (ﷺ), “Kaum Muslimin itu melakukan transaksi jual-beli berdasarkan syarat-syarat yang mereka sepakati, bukan syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan sesuatu yang halal.”
Jadi berdasarkan dalil tersebut, pelaku jual-beli boleh menyaratkan khiar, hak untuk melakukan refund atau membatalkan transaksi, kata ustadz.
Selanjutnya, sebuah transaksi bisa dibatalkan, atau bisa di-refund kalau barang cacat tidak diketahui saat transaksi, atau yang dikenal dengan khiar aib.
Kalau seseorang membeli sebuah barang yang memiliki cacat dan tidak diketahui baik oleh si pembeli maupun si penjual, maka si pembeli bisa melakukan refund atas barang yang rusak tersebut, kata ustadz.
Di zaman sekarang, menurutnya, khiar aib ini agak sulit karena krisis amanah, apalagi di jual-beli online. Untuk mendapatkan kompensasi pada khiar ini harus menggunakan video unboxing (buka kemasan) sebagai pembuktian.
“Kemungkinan kita lupa saat beli barang dalam bentuk paket kemudian langsung kita eksekusi sebelum memvideokan dan ternyata barang yang sudah dibeli itu cacat. Nah, hal ini membuat kita kesulitan untuk melakukan komplain,” tambahnya.
Menurut ustadz, krisis amanah dalam jual-beli tidak saja pada si penjual, tapi juga bisa terjadi pada si pembeli. “Padahal dari toko itu barangnya bagus, tapi si pembeli menjatuhkannya, kemudian si pembeli bilang barang tersebut rusak dari pabrik.”
Ustadz mengingatkan jual-beli harus dilandasi dengan pemahaman ilmu fiqih muamalah, dan jika tanpa adanya sifat amanah semua akan menjadi sia-sia.
“Kalau kita bekerja sama dengan orang berilmu tapi tidak amanah, bisnis bisa bubar atau bangkrut, karena banyak ketidakbaikan seperti korupsi atau kecurangan.”
Sebaliknya, bekerja sama dengan orang yang tidak tahu ilmu muamalah, tapi dia jujur dan amanah, juga tidak boleh, katanya, seraya menambahkan, karena orang yang tidak punya ilmu akan terjerumus dalam keharaman dan kemungkinan akan melakukan riba atau gharar dan bahkan melakukan kezaliman.
Ustadz menganjurkan agar memilih mitra bisnis yang ideal sesuai dalam Al-Qur’an.
Dalam kisah Nabi Musa ‘Alaihi Salam (AS) ada dua kriteria mitra bisnis yang ideal, yaitu qawiyyul (kuat) dan amin (amanah), katanya seraya menjelaskan kuat itu bukan sekadar fisik, tapi berkaitan dengan operasional.
“Kalau mitra kita sakit-sakitan, kita akan susah dalam menjalankan bisnis. Selain itu, dia juga harus kuat secara keilmuan dan juga kuat secara finansial, serta kuat mental bisnisnya. Jangan kita punya mitra loser (pecundang), dan penakut, yang pada akhirnya bisnis tidak bisa jalan,” kata ustadz.
Kriteria kedua, yakni amin atau jujur/amanah, akan mencegah kita dari kecurangan, penipuan, korupsi dan sebagainya, ujar ustadz.
Sebaliknya, kita juga tidak bisa bekerja sama dengan orang yang jujur tanpa mengetahui perkara muamalah, karena dia akan melanggar semua rambu-rambu keharaman dalam bekerja sama, ustadz menekankan.
Dia memberi contoh studi kasus dalam khiar aib, yakni si penjual berhalangan saat pembeli minta return (barang dikembalikan) karena barangnya cacat, atau minta ganti dengan yang baru. Tapi, si penjual sudah tidak punya lagi barang sejenis.
“Nah, bagaimana solusinya kalau si penjual tidak mampu melakukan refund 100 persen. Caranya yaitu dengan memberi kompensasi. Ini dinamakan al arsy (bukan al ‘arsy) atau ta’widh (ganti rugi/kompensasi),” jelas ustadz.
Cara memberi kompensasi pada khiar aib adalah dengan menghitung, mengevaluasi atau melakukan appraisal. “Misalnya barang dalam kondisi normal berapa harganya, kemudian barang yang kondisinya cacat berapa harganya. Setelah mendapatkan selisihnya, baru diberikan kompensasi, bukan refund.”
Menurut Ustadz Ahmad, di dalam kitab Al Wajiz Fiqih Sunnah (yang menjadi acuan dalam kajian ini) hanya ada tiga khiar, yaitu khiar majelis, khiar syarat dan khiar aib.
Sebagian ulama merinci khiar aib, yaitu khiar ghaban dan khiar tadlis, ungkap ustadz.
“Tidak semua pembeli yang kecewa itu karena aib atau barang yang rusak. Ada juga penjual yang kecewa karena ditipu. Barangnya terlihat bagus tapi ternyata palsu. Atau ditipu secara harga. Bilangnya harga pasarannya sekian, tapi begitu dicek ternyata tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya.”
Ustadz mencontohkan, zaman dahulu orang-orang yang ditipu secara harga adalah mereka yang berasal dari desa.
Orang-orang desa yang mau menjual barangnya ke kota dihadang di tengah jalan oleh para tengkulak yang memborong barang-barang orang-orang desa tersebut dengan harga yang murah. “Ini tidak boleh, tapi kalau harganya sesuai tidak apa-apa.”
“Padahal, kalau orang-orang desa tersebut menjual di kota mereka akan mendapat harga yang berlipat ganda. Nah ini namanya khiar ghaban,” tambahnya.
Menurut Syekh Abdurrahman bin Naser Assaidi dalam kitabnya Manhajjus Shalihi di Bab Muamalah, khiar ghaban terjadi jika ada kerugian yang di luar batas kewajaran dan terdapat penipuan atau najasy, yaitu penipuan reputasi, baik reputasi barang maupun reputasi toko atau si penjual, jelasnya.
“Nah, zaman sekarang, banyak jual-beli najasy dengan page palsu di market place (pasar online). Itu seperti starred seller yang diperjual-belikan. Padahal dia harus mencapai limit trasaksi tertentu untuk menjadi starred seller,” ungkap ustadz.
Lebih lanjut ustadz menjelaskan, ada juga yang menjualbelikan follower, memiliki testimony palsu, dan melakukan line selling, sehingga masyarakat mengira toko ini sudah laris.
“Ternyata di lingkungan ikhwan juga banyak yang menggunakan pola-pola ini, bahkan ada yang pakai buzzer untuk menaikan nilai jual-beli. Nah, ini namanya khiar ghaban. Jadi kalau kita merasa tertipu, kita boleh mengajukan khiar talaqqil jalab (jual-beli dengan cara menghadang),” kata ustadz.
Tapi, jual-beli dengan cara jemput bola barang dari petani di kampung untuk mendapatkan rantai distribusi yang lebih pendek dan mendapatkan harga grosir yang lebih murah, ini boleh, imbuhnya.
Menurut ustdaz, khiar ghabn sering terjadi di masyarakat. Misalnya dengan praktik mencoret harga yang lebih tinggi, lalu ditampilkan harga yang lebih rendah dengan mengatakan “harga yang lebih rendah itu hanya berlaku hari ini saja, besok sudah naik”. “Nah, praktik seperti ini sekedar gimik, tipu atau bohong.”
“Atau mengatakan, ‘buruan beli sekarang karena stok tinggal sedikit’. Padahal barang masih banyak. Nah, ini bohong dan masuk khyiar tadlis.”
Atas contoh peristiwa-peristiwa di atas, ustadz mengingatkan kaum Muslimin harus bertranskasi dengan orang-orang yang amanah dan jujur serta berilmu agar terhindar dari cara-cara bertransaksi yang menipu.
Dia menambahkan, pedagang Muslim juga harus bertransaksi dengan jujur, amanah dan berilmu dengan mengaplikasikan kaidah-kaidah jual-beli sesuai dengan syariat.
Ustadz menyebutkan, Nabi (ﷺ) bersabda, “Para pedagang yang jujur lagi dapat dipercaya akan mendapat keutamaan bersama para nabi, siddiqin dan para syuhada kelak di hari kiamat.” (Hadits riwayat Tirmizi)
Laporan: KPMI Korwil Bogor